Pemerintah
Indonesia telah melakukan berbagai usaha untuk memberantas tindak pidana
korupsi dan menyelamatkan keuangan Negara. Berbagai produk perundang-undangan,
lembaga dan tim khusus telah dibentuk oleh pemerintah guna memberantas tindak pidana
korupsi sampai ke akar-akarnya demi menyelamatkan perekonomian dan keuangan
Negara yang telah dimulai sejak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini
baru berdiri. Oleh karenanya untuk dapat memahami bagaimana upaya Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia secara utuh baik yang telah terjadi maupun pada
masa sekarang (kontemporer) maka
menjadi sebuah keharusan bagi kita untuk pula mengkaji secara historikal upaya
pemberantasan korupsi dari fase ke fase perkembangan rezim yang penah berkuasa
di Indonesia. Secara historikal kepemimpinan rezim yang pernah ada di Indonesia
dapat diklasifikasikan dalam 3 (tiga) fase, yakni, Orde Lama, Orde Baru dan Fase
Reformasi sampai sekarang. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dari
ketiga fase untuk dapat memahami lebih jelas sebagai berikut:
A.
PEMBERANTASAN
KORUPSI PADA FASE ORDE LAMA
Sejarah
Pemberantasan Korupsi telah dilaksanakan sejak pemerintahan Orde
Lama, ketika usaha mengisi kemerdekaan, telah memperlihatkan
gejala-gejala kearah penyelewengan yang merupakan perbuatan yang merugikan
kekayaan dan perekonomian negara. Gejala seperti ini pada awalnya jelas
kelihatan pada masa perjuangan fisik untuk mempertahankan republik yang baru
diproklamasikan.[1]
Pada masa itu istilah korupsi menjadi sangat terkenal dalam masyarakat, dan
terasa sangat mencemaskan.
Ketentuan-ketentuan
hukum yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak dapat
berbuat banyak untuk memberantas gejala baru yang oleh masyarakat dinamakan
korupsi dan ternyata dirasakan tidak efektif. Akibatnya banyak pelaku
penyelewengan keuangan dan perekonomian negara yang tidak dapat diajukan ke
pengadilan karena perbuatannya tidak memenuhi rumusan yang ada di dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Bertolak
dari kenyataan tersebut di atas, pada tanggal 9 April 1957, Kepala Staf
Angkatan Darat, selaku penguasa militer pada waktu itu, mengeluarkan Peraturan
No. Prt/PM-06/1957. Namun pada perkembangannya ternyata peraturan penguasa
militer ini dirasakan belum cukup efektif, sehingga perlu dilengkapi dengan
peraturan tentang pemilikan harta benda yang kemudian diatur dalam Peraturan
Penguasa Militer No. Prt/PM-08/1957 tanggal 22 Mei 1957. Peraturan ini
dimaksudkan untuk memperoleh hasil yang sebesar-besarnya bagi kepentingan
negara dalam usahanya memberantas korupsi. Dengan peraturan ini penguasa
militer berwenang mengadakan penilikan terhadap harta benda setiap orang atau
badan dalam daerahnya, yang kekayaannya diperoleh secara mendadak dan sangat
mencurigakan.[2]
Berlakunya
Undang-undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya pada tanggal 17 April
1958, menjadi dasar bagi Kabinet Djuanda pada masa Orde
Lama untuk membentuk badan pemberantasan korupsi yang disebut sebagai Panitia
Retooling Aparatur Negara (PARAN), badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan
dibantu oleh dua orang anggota yakni Profesor M.Yamin dan Roeslan Abdulgani.[3]
Berlakunya Undang-undang No. 74 tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya kemudian
membuat ketiga peraturan penguasa militer yang ada sebelumnya diganti dengan
Peraturan Penguasa Perang Angkatan Darat No. Prt./Peperpu/013/1958 Tentang
Pengusutan, Penuntutan Dan Pemerikasaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Penilikan
Harta Benda bagi wilayah yang dikuasai Angkatan Darat[4]
dan bagi daerah-daerah yang berada dalam wilayah kekuasaan Angkatan Laut dibuat
pula Perturan Penguasa Militer Angkatan Laut No. Prt/zl/17 tanggal 17 April
1958 (diumumkan dalam BN Nomor 42/58)[5].
Meski
kedua peraturan penguasa perang tersebut dibuat agar dalam tempo yang singkat
dapat dibongkar perbuatan-perbuatan korupsi yang pada saat itu sangat
merajalela namun dalam tataran praktis Panitia Retooling Aparatur Negara
(PARAN) banyak mendapat perlawanan dari para pejabat korup sehingganya tidak
mampu berbuat banyak dan diserahkan kembali pelaksanaan tugas ke Kabinet
Djuanda. Dalam rentang waktu dua tahun setelah peraturan penguasa perang pusat
diberlakukan, pemerintah kemudian pada tanggal 9 Juni 1960 mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 24 Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan
dan Pemeriksaan Tindak Pidana Pidana Korupsi, Lembaran Negara No. 72 Tahun 1960[6]
dan pada tahun 1961 dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1961, peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 itu dikukuhkan status hukumnya
menjadi Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960 Tentang Pengusutan, Penuntutan dan
Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Lembaga Negara No. 72 Tahun 1960[7].
Bambang Poernomo[8]
dalam hubungan itu mengatakan bahwa pembaharuan yang diadakan dalam substansi
Undang-Undang No. 24 Prp Tahun 1960 telah memberikan petunjuk tentang betapa
rumitnya pemberantasan kejahatan korupsi yang mempunyai pola perilaku
terselubung, dan mempunyai sasaran dibidang politik, ekonomi, keuangan dan
sosial budaya.
Kemudian
pada tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963 dicanangkanlah
apa yang disebut sebagai Operasi Budhi, dalam operasi ini
pemerintah kembali menunjuk A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan dan dibantu oleh Wiryono
Prodjodikoro. Melalui Operasi Budhi pemerintah berharap
pelaku korupsi dapat diseret kepengadilan utamanya pelaku korupsi dalam tubuh
perusahaan-perusahaan serta Lembaga Negara lainya yang dianggap rawan praktek
korupsi dan Kolusi.[9]
Alasan politis menyebabkan kemandekan dan efektifitas dalam pelaksanaan Operasi
Budhi, seperti pada pengusutan kasus Direktur Utama Pertamina yang
kabur ke Luar Negeri dan Direksi Pertamina lainnya menolak untuk diperiksa
dengan alasan belum adanya surat tugas dari atasan. Meski berhasil
menyelamatkan keuangan negara mencapai lebih kurang Rp. 11 Miliar, Operasi
Budhi kemudian dibubarkan melalui pengumuman yang dibacakan oleh
Subandrio dan digantikan oleh Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi
(KONTRAF) dengan presiden Soekarno sebaga ketua serta dibantu oleh Soebandrio
dan Letjen Ahmad Yani.[10]
Meski
telah beberapa kali diadakan pergantian peraturan perundang-undangan dan
beberapa kali dibentuk Lembaga Pemberantasan Korupsi, namun selama kurun waktu
antara tahun 1960-1970 perkembangan dan peningkatan potensi tindak pidana
korupsi dirasakan terus berlangsung dengan hebat. [11]
B.
PEMBERANTASAN
KORUPSI PADA MASA ORDE BARU
Pada
masa awal Orde Baru, melalui pidato Kenegaraan dimuka anggota DPR/MPR pada
tanggal 16 Agustus 1967, Soeharto terang-terangan mengkritik Orde
Lama, yang tidak mampu memberantas korupsi dalam hubungan dengan
Demokrasi yang terpusat ke Istana, pidato itu seakan memberi harapan besar
seiring dengan dikeluarkannya Keppres No. 28 Tahun 1967 tentang Pembentukan Tim
Pemberantasan Korupsi maka dibentuklah Tim Pemberantasan
Korupsi (TPK), yang diketuai Jaksa Agung. Namun ternyata, ketidakseriusan Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) mulai dipertanyakan karena praktis Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) tidak melakukan apapun sebagaimana diharapkan.
Perusahaan-perusahaan negara
seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan banyak disorot masyarakat karena
dianggap sebagai sarang korupsi ditambah ketidak transparannya Tim
Pemberantasan Korupsi (TPK) ketika melakukan pemeriksaan terhadap Ibnu
Sutowo Direktur Pertamina yang tidak pernah melaporkan laporan keuangan tahunan
yang memicu
berbagai bentuk protes dan demonstrasi mulai tahun 1969 dan puncaknya di tahun
1970.
Melihat
kondisi yang terjadi, pemerintah kemudian malakukan kajian terhadap hambatan
pelaksanaan pemberantasan korupsi dan berakhir pada kesimpulan bahwa penyebab
terhambatnya upaya pemberantasan korupsi antara lain adalah karena
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan mengenai
korupsi dirasakan kurang memadai untuk melakukan tindakan, baik secara represif
maupun preventif, terutama mengenai rumusan tindak pidana korupsi yang ada
dalam undang-undang yang mensyaratkan adanya pembuktian unsur melakukan
kejahatan atau pelanggaran[12]
sehingganya pemeritah memandang perlu mengadakan pembaharuan hukum pidana untuk
mengganti Undang-Undang No. 24 Prp. Tahun 1960.
Untuk
memenuhi maksud tersebut di atas, maka dengan Amanat Presiden No. R.
07/P.U/VIII/1970 tanggal 13 Agustus 1970, Pemerintah menyampaikan kepada dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) sebuah rancangan undang-undang tersebut
dimaksudkan untuk mencabut dan mengganti Undang- Undang No. 24 Prp. Tahun 1960
dengan suatu undang-undang korupsi yang baru. Setelah beberapa tahap pembahasan
dalam persidangan di lembaga legislatif, akhirnya pada sidang pleno tanggal 12
Maret 1971 rancangan undang-undang tersebut di atas disetujui oleh DPRGR untuk
ditetapkan menjadi undang-undang. Kemudian rancangan undang-undang tersebut
disahkan oleh Presiden pada tanggal 29 Maret 1971 menjadi undang-undang, yaitu
Undang- Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1971 No. 19.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Soeharto
melalui kebijakannya menunjuk Komite 4 (empat) yang beranggotakan tokoh-tokoh tua
yang dianggap bersih dan berwibawa, seperti Prof. Johanes, I.J. Kasimo, Mr
Wilopo, dan A. Tjokroaminoto, dimana mantan wakil presiden M. Hatta ditinjuk
sebagai penasehat persiden, untuk melakukan tugas utama membersihkan Departemen
Agama, Bulog, CV Waringin, PT. Mantrust, Telkom, Pertamina, dan lain-lain. Namun
lemahnya posisi tawar Komite 4 (empat) membuat Komite ini tidak mampu berbuat
banyak utamanya dalam penanganan kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan
pemerintah, sehingga ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, melalui
inpres Nomor 9
Tahun 1977 tentang Operasi Penertiban pemerintah kemudian
menganjurkan untuk membentuk Operasi Tertib dengan tugas antara lain
memberantas korupsi. Perselisihan pendapat kemudian muncul utamanya mengenai
metode pemberantasan korupsi yang bottom
up atau top down dan cenderung
semakin melemahkan pemberantasan korupsi, sehingga Operasi Tertib pun hilang
seiring dengan makin menguatnya kedudukan para koruptor di singgasana Orde Baru.[13]
C. PEMBERANTASAN KORUPSI PADA MASA
REFORMASI.
Reformasi
merupakan perubahan radikal guna mencapai perbaikan dalam masyarakat atau
negara tanpa disertai cara-cara dan kondisi kekerasan.[14]
Pemberantasan korupsi adalah salah satu agenda besar yang diperjuangan dalam
gerakan reformasi sampai pada kemenangannya pada 20 Mei 1988. Di Era reformasi,
usaha pemberantasan korupsi dimulai oleh B.J. Habibie dengan Ketetapan Mejelis
Permusyawratan Rakyat (MPR) Nomor: XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi yang ditindak lanjuti dengan menetapkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme dan Kolusi, dan Nepotisme berikut pembentukan
berbagai komisi atau badan baru, seperti Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat
Negara (KPKPN), KPPU, atau Lembaga Ombudsman.
Kemudian
melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VIII
/ MPR/ 2001 Tentang Rekomendasi Arah Kebijaksanaan Pemberantasaan dan
Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, secara khusus pemerintah menetapkan
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pemerintah juga mengeluarkan
Inpres No.30 Tahun 1998 tentang Pembentukan Komisi Pemeriksa Harta Pejabat.
Namun dengan seluruh perangkat aturan yang ada BJ Habibie gagal mengusut dengan
cepet dugaan korupsi yang dilakukan Soeharto, Habibie tidak hanya tidak
berhasil menyeret kasus Soeharto ke pengadilan justru menghentikan penyelidikan
kasus tersebut.
Presiden
berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gusdur), segera setelah dilantik melalui Keppres
No. 44 Tahun 2000 Tanggal 10 Maret 2000 membentuk lembaga Ombudsman dan berdasarkan
Kesepakatan Letter of Intent (LOI) antara Pemerintah Republik Indonesia dengan
IMF maka melalui Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2000 dibentuklah Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK), namun, setalah melalui judicial review di Mahkamah Agung, Tim
Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akhirnya dibubarkan karena
dianggap tidak selaras dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999. Padahal
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 juga banyak menimbulkan permasalahan khususnya
mengenai tidak adanya Pasal yang
mengatur tentang peraturan peralihan, sehingga pelaku korupsi pada Orde
Baru, berdasarkan asas bahwa hukum tidak berlaku surut maka mereka
tidak dapat dijerat dengan Pasal korupsi karena undang-undang sebelumnya yaitu
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.[15]
Reformasi
yang terjadi di Indonesia pada 1998 telah mendorong munculnya berbagai macam
perubahan dalam sistem ketatanegaraan, akibat adanya Perubahan Konstitusi
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD’45). Salah satu
hasil dari perubahan dimaksud adalah beralihnya supremasi Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) ke supremasi konstitusi[16].
Supremasi konstitusi memposisikan konstitusi sebagai hukum tertinggi yang
mengatur dan membatasi kekuasaan lembaga-lembaga Negara. Perkembangan konsep trias politica juga turut memengaruhi
perubahan struktur kelembaga karena dianggap tidak lagi relevan mengingat fakta
bahwa tiga fungsi kekuasaan yang selama ini ada tidak mampu menanggung beban
negara dalam menyelenggarakan pemerintahan. Hal ini kemudian mendorong negara
membentuk jenis Lembaga Negara baru yang diharapkan dapat lebih responsif dalam
mengatasi persoalan aktual negara dalam bentuk dewan, komisi, komite, badan,
ataupun otorita, dengan masing-masing tugas dan wewenangnya.[17]
Salah
satu lembaga baru yang dibentuk pada masa Pemerintahan Presiden Megawati adalah
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebelum dibentuknya KPK, pemerintah telah
melakukan kajian secara mendalam terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang
ternyata banyak mengandung kelemahan oleh karenanya kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Melalui undang-undang yang baru tersebut in casu Pasal 43, pemerintah diberikan
amanat untuk membentuk Komisi Pemberantasan tindak Pidana Korupsi yang
independent dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Pembentukan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dibentuklah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), namun di masa
pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum semakin
merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa
mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan
berobat ke luar negeri.
Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim, The
Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA,
pemberian fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti
kuat bahwa elit pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi,
Masyarakat menilai bahwa pemerintah masih memberi perlindungan kepada para
pengusaha besar yang nota bene memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian
nasional[18];
Ketika Pemerintahan berada dalam tampuk
kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK), ekspektasi masyarakat
akan pemberantasan korupsi di Indonesia kembali tinggi mengingat dalam
visi-misinya, Presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat ini berupaya “Menciptakan Kepastian Hukum, Peraturan Dan
Rasa Aman Untuk Berusaha Dan Bekerja”[19].
SBY-JK dalam program 100 (seratus) hari pertama kerja Kabinet Indonesia Bersatu
mencanangkan pemberantasan korupsi secara spesifik merupakan satu dari tiga
agenda besar dengan tema “Mewujudkan Indonesia yang Adil dan Demokratis”.[20]
SBY-JK kemudian mengaktualisasikan dukungannya melalui maklumatnya dalam Instruksi
Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tertanggal 9 Desember 2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi guna membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam
penyelenggaraan laporan, pendaftaran, pengumuman dan pemeriksaan LHKPN (Laporan
Harta Kekayaan Penyelenggaraan Negara). Dalam
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 setidaknya terdapat 12 instruksi khusus
dalam rangka percepatan pemberantasan korupsi yang ditujukan kepada
menteri-menteri tertentu, Jaksa Agung, Kapolri, dan Gubernur serta
Bupati/Walikota sesuai peran dan tanggung jawab masing-masing. Berdasarkan
Inpres tersebut BAPPENAS (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) kemudian
mengeluarkan sebuah dokumen resmi rencana pemberantasan korupsi yang lebih
sistematis yang diberi nama Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi (RAN
PK) tahun 2004-2009. RAN PK ini menekankan pada tiga elemen : Pencegahan
Korupsi, Represi Kasus-kasus Korupsi serta Monitoring dan Evaluasi keduanya,
baik Pencegahan maupun Represi.[21]
Untuk mewujudkan tujuan pembentukannya, maka strategi yang digunakan untuk
memberantas tindak pidana korupsi haruslah tepat. Adapun strategi yang dimaksud
adalah dilakukan dengan 3 (tiga) macam, yaitu:[22]
a. Strategi
persuasive, yaitu upaya menghilangkan penyebab korupsi dan peluang korupsi;
b. Strategi
detektif, yaitu menampilkan dan mengidentifikasi tindak pidana korupsi dalam
waktu sesingkat mungkin;
c. Strategi
represif, yaitu upaya memproses tindak pidana korupsi yang telah diidentifikasi
sebelumnya dengan cara melalui proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
putusan pengadilan.
Beberapa
Departemen dan Non Departemen lain juga merespon Inpres tersebut, misalnya
langkah Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaludin yang melakukan peninjauan
langsung/inspeski mendadak (sidak) ke sejumlah Lembaga Pemasyarakatan dan
melihat bagaimana sistem yang berlaku disana, khususnya yang berkaitan dengan
penahanan para tersangka kasus korupsi kemudian Kejaksaan Agung Republik
Indonesia, Abdul Rahman Saleh SH, mengeluarkan Surat Edaran Jaksa Agung RI No.
007 Tahun 2004 tentang Percepatan Proses Penanganan Perkara Korupsi di seluruh
Indonesia yang meminta kepada Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia untuk
menuntaskan perkaraperkara korupsi dalam waktu 3 bulan, mengutamakan kasus
korupsi yang mendapat perhatian masyarakat dan menjaga jaksa untuk menjaga
integritas moralnya dalam menangani kasus korupsi.
Namun
pemberantsan korupsi yang dilakukan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan,
mengingat tingkat korupsi Indonesia belum beranjak dari ranking bawah. Hasil
survai Transparency Internationa[23]l
mendudukkan Indonesia pada urutan ke-137 dari 145 negara yang dinilai,
dengan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) 2,0[24]
dan negara paling terkorup di antara 12 negara Asia dengan nilai hampir
menyentuh angka mutlak 10 dengan skor 9,25 (nilai 10 merupakan nilai tertinggi
atau terkorup)[25]
oleh karenanya tidak sampai satu tahun sejak Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun
2004 dikeluarkan, pemerintah kembali mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi disingkat (Timtas Tipikor). Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi merupakan
lembaga pemerintah dalam menindak lanjuti kasus korupsi yang dibentuk dan
bertanggung jawab secara langsung terhadap presiden berdasarkan Keppres No. 11
Tahun 2005 utamanya dalam penyelesaian 21 kasus korupsi termasuk kasus “big
fish” yang melibatkan elit politik dalam lingkaran SBY. Tim Koordinasi
Pemberantasan Korupsi ini keanggotaanya terdari dari 48 orang Kejaksaan
Republik Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Badan Pengawasan
Keuangan dan Pembangunan. Pemerintah juga meratifikasi United Nations Convention Againts Corruption (Konvensi Persirakatan
Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, UNCAC) 2003 melalui Undang-undang No. 7 Tahun 2006
(Lembaran Negara Tahun 2006 No. 32, Tambahan Lembaran Negara 4620).
Progres
yang ditunjukan cukup signifikan dimana dalam kurun waktu dua tahun Timtas
Tipikor telah menangani sebanyak 72 perkara yang terdiri dari tujuh perkara
telah diputus, upaya hukum naik banding maupun kasasi sebanyak dua perkara, di
tingkat penuntutan ada 11 perkara, tingkat penyidikan 13 perkara, dan di
tingkat penyelidikan ada 39 kasus diantaranya yang menyangkut jajaran direksi
bank, dan menteri agama. Selain itu, ada kasus yang diserahkan ke Kementerian
Sekretariat Negara sebanyak 45 kasus dan ke Kementerian BUMN sebanyak dua kasus
serta laporan masyarakat ada 233 kasus. Sedangkan laporan masyarakat yang
ditangani oleh Kejati dan Kapolda di bawah supervisi Timtas Tipikor adalah satu
perkara sudah dieksekusi, di tingkat upaya hukum 15 perkara, tingkat penuntutan
25 perkara, di tingkat penyidikan 26 kasus dan penyelidikan 141 kasus, sehingga
jumlahnya 208 kasus yang ditangani di tingkat daerah. Sementara itu, selama dua
tahun menjalankan tugasnya, Timtas Tipikor mengkalim telah menyelamatkan
keuangan negara di pusat sebesar Rp 3,946 triliun dan keuangan/aset negara di
daerah sebesar Rp 4,105 miliar. Jumlah keungan negara yang diselamatkan
seluruhnya adalah Rp 3,950 triliun. Sedangkan dari alokasi anggaran untuk
Timtas Tipikor sebesar Rp 41.200.860.000, yang diserap adalah Rp 25.008.427.587
atau sebesar 60,6 persen.
Meskipun
mampu membawa perubahan, ’keberhasilan’ Timtas Tipikor ternyata menghadapi
banyak tantangan, di antaranya: Pertama, independensi Timtas
Tipikor terhadap intervensi politis dan konflik kepentingan di kalangan
eksekutif. Walaupun secara terbuka saat dilantik sebagai Ketua Timtas Tipikor,
Hendarman Supanji mengatakan bahwa Presiden mendukung sepenuhnya penyelidikan
dan penyidikan korupsi, independensi dan keberanian Timtas Tipikor masih harus
ditunggu. Apalagi dalam dua kasus dugaan korupsi besar, yaitu Bank Mandiri dan
PLN, menyeret sejumlah tersangka yang memiliki keterkaitan dengan pejabat
tinggi. Konflik kepentingan di pucuk pimpinan eksekutif bisa menghentikan
kasusi. Kedua, Timtas Tipikor juga terhambat oleh rendahnya
kinerja penyidik. Ketiga, korupsi di peradilan atau mafia
peradilan juga turut menghambat keberhasilan Timtas Tipikor. Seperti terjadi
dalam kasus Abdullah Puteh yang ditangani oleh KPK, Addullah Puteh diduga
terlibat dalam transaksi pembelian helikopter dari Rusia (Mi-2) dengan kerugian
negara sekitar Rp 10 miliar dan juga terlibat dalam dugaan korupsi di balik
pembelian genset listrik senilai Rp 30 milyar[26]
dan telah divonis bersalah pada pengadilan tingkat pertama justru bisa bebas
dengan alasan sakit. Belakangan KPK berhasil menangkap basah upaya penyuapan
yang dilakukan oleh salah seorang pengacara Abdullah Puteh. Oleh karenanya
keberadaan Tim Koordinasi Pemberantasan Korupsi dinilai tidak lagi relevan
untuk dipertahankan, maka dengan dalil tidak efektif dan tegas serta
kewenangannya tumpang tindih dengan lambaga pemerintah lainnya seperti
kepolisian, kejaksaan dan KPK pemerintah kemudian mengeluarkan Keppres No. 10
Tahun 2007 tentang Pengakhiran Tugas Dan Pembubaran Tim Koordinasi
Pemberantasan Tindak Korupsi.
Pada
bulan Mei 2011 Preseiden SBY memaklumatkan Inpres No. 9 Tahun 2011 Tentang
Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 yang dilanjutkan
dengan Inpres No. 17 Tahun 2011 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan
Korupsi Tahun 2012. Melalui kedua Inpres ini, fokus utama dalam aksi adalah pencegahan
korupsi pada lembaga penegak hukum, hal ini dilakukan dengan menungkatkan
akuntabilitas, keterbukaan informasi, kapasitas dan pembinaan sumber daya
manusia serta koordinasi antar lembaga. Keseriusan dalam pemberantasan korupsi
juga ditunjukan oleh KPK, secara internal organisasional, KPK telah menyusun
Road Map KPK dalam Pemberantasan Korupsi di Indonesia Tahun 2011-2023. Hal ini
dilakukan untuk menjadi kesinambungan dan memberikan arah serta ispirasi bagi
keberlangsungan pemberantasan korupsi mengingat dokumen perencanaan yang selama
ini ada hanya mencakup strategi jangka pendek dan menengah.
Kemudian
dalam rangka mempercepat pemberantasan korupsi pada 23 Mei 2012 kembali
dikeluarkan Peraturan Presiden No. 55 Tahun 2012 Tentang Strategi Nasional
Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Pangjang Tahun 2012-2025
dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 dengan visi dan misi terwujudnya kehidupan
bangsa dan tata pemerintahan yang bersih dari korupsi. Untuk
mengimplementasikan visi dan misi dimaksud maka dalam Peraturan Presiden No. 55
Tahun 2012 telah disusun 6 (enam) strategi yakni, (1). Melaksanakan upaya-upaya
pencegahan, (2). Melaksanakan langkah-langkah strategis dibidang penegakan
hukum, (3). Melaksanakan upaya-upaya harmonisasi penyusunan peraturan
perundang-undangan pemberantasan korupsi dan sektor lain, (4). Melaksanakan
kerja sama internasional dan penyelamatan aset hasil tipior, (5). Meningkatkan
pendidikan dan budaya anti korupsi dan (6) Melaksanakan koordinasi dalam rangka
mekanisme pelaporan pelaksanaan upaya pemberantasan korupsi.
Selajutnya
dalam upaya pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan korupsi sebagaimana
diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2012 khususnya menyangkut
strategi pertama, melalui maklumat dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2013 Tentang Aksi Pencegahan Dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2013
pemerintah mengintruksikan kepada Para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II,
Sekretaris Kabinet, JaksaAgung, Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kepala Unit Kerja Presiden Bidang
Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Para Kepala Lembaga Pemerintah Non
Kementerian, Para Sekretaris Jenderal pada Lembaga Tinggi Negara, Para Gubernur
dan Para Bupati/Walikota yang pada
pokoknya harus bahu membahu dalam upaya pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan
korupsi.
[1] Sudarto,
Pemberantasan Korupsi, sinar grafika hal. 127.
[2]
Konsideran Peraturan Penguasa Militer itu pada bagian menimbang, menegaskan
bahwa dengan tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas
perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian negara yang oleh
khalayak ramai dinamakan korupsi, perlu segera menetapkan suatu tata kerja
untuk dapat menerobos kemacetan dalam usaha memberantas korupsi………dan
seterusnya.
[3] Prinst
Darwan. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Citra Aditya Bakti, Bandung,
hlm 11.
[4] Darwan
Prinst, op.cit, halaman 10-11
[5] Jur.
Andi Hamzah, Pemerantasan Korupsi Melalui
Hukum Pidana Nasional dan Internasioanal. Penerbit PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta 2005
[6] Martiman
Prodjohamidjojo, Pemberantasan Korupsi di
Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hal 15
[7] Evi
Hartanti, Korupsi dan Perkembangannya,
(Jakarta: Bina Aksara, 2007), hal 22-23
[8] Bambang
Poernomo, Pertumbuhan Hukum Penyimpangan Di Luar Kodifikasi Hukum Pidana, (Jakarta:
Bina Aksara, 1984), hal. 65.
[9] Prinst
Darwan. 2002. Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 11
[10] Prinst,
Darwan. Ibid, 2002 hlm 12
[11] Bohari.
2001.
Jejak Pemberantasan Korupsi Di Indonesia.
.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm 9
[12] Tentang
kurang memadainya ketentuan undang-undang No. 24 Prp Tahun 1960 sebagai sarana
untuk pemberantasan tindak pidana korupsi tercermin dari adanya pengakuan
legalitas sebagaimana dapat dilihat lebih lanjut dalam penjelasan Umum UUPTPK
1971.
[13]
Prinst, Darwan. Ibid, 2002 hlm 13
[14]
Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah
Hukum, Pikiran-pikiran Lepas, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hal. 3.
[15] Nyoman Serikat
Putra Jaya, Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia, (Semarang:
Badan Penerbit UNDIP, 2005), hal. 75.
[16] Muslim, Mahmuddin ; Mahbub, Agus Sahlan ; Erwin, Ahmad Yulden [ed.].
2004. Jalan Panjang Menuju KPTK. Jakarta: Gerak Indonesia
dan Yayasan Tifa.
[17] Prinst,
Darwan. Ibid, 2002 hlm16
[18] http://www.untukku.com/artikel-untukku/sejarah-korupsi-di-indonesia-untukku.html
diakses 19 Maret 2015
[19] Visi
dan Misi Pemerintahan SBY-JK, dalam Profil Menteri-menteri Kainet Indonesia
Bersatu, Media Presindo, Yogyakarta, 2004, hal. 78.
[20] Lihat
Agenda 100 Hari Pertama Kabinet Indonesia Bersatu, hal.7
[21] 1 Lihat
Pidato Kepala Bappenas, Sri Mulyani Indrawati, Basic Rights Approach to Poverty
Reduction and Bureaucracy Reform in Indonesia, pada Sessi II : “Poverty
Reduction and Governance Reform”, the CGI Meeting, di Jakarta pada 20 January,
2005, hal. 8
[22] Nyoman
Serikat Putra Jaya, Bahan Kuliah Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System), (Semarang: Program Magister Ilmu Hukum, 2008), hal. 50.
[23] Transparency International (TI) adalah organisasi internasional yang bertujuan
memerangi korupsi politik dan didirikan di Jerman sebagai organisasi nirlaba
se-karang menjadi organisasi non-pemerintah yang bergerak menuju organisasi
yang demokratik.
[24] Lihat
Suryanto, Tantangan Besar
Pemberantasan Korupsi, Hal 7
[25] Political
& Economic Risk Consultancy-PERC. 2006. “Corruption in Asia.” Asian
Intelligence. Hong Kong.
[26]
http://www.suarapembaruan.co.id/News/2004/12/08/Utama/ut01.htm, di akses 21
Maret 2015
Main sabung ayam cuma di BOLAVITA paling nyaman
BalasHapusjudi bola dengan presentase kemenangan tertinggi
Untuk info lebih lanjut bisa melalui:
whatup : 08122222995
BBM: D8C363CA
Wechat : Bolavita.
Line : Cs_bolavita.
BBM: D8C363CA