Sabtu, 28 Maret 2015

OPINI

Antara
Investasi, Monopoli dan Penyadapan

Pengantar.
Arus Internasionalisasi capital merupakan perkembangan termaju dari perkembangan capital industri dan capital dagang yang membentuk sebuah oligarki finance yang termanifestasi secara konkret dalam sistem Bretton Woods (new hampshire; 1944) sebagai rahim yang melahirkan International Monetary Fund (IMF) dan juga “saudara”nya yakni, Internasional Bank for Recontruction and Development (IBRD) atau Bank Dunia paska Great Depression pada dekade 1930-an, segitiga inilah yang mengantarkan sistem capitalis menuju puncaknya yaitu Imperialism.
Pada perkembangannya, Internasionalisasi kekuasaan pengendalian modal terus menyebar dan telah mempengaruhi perkembangan Sosial, Ekonomi, Politik dan Kebudayaan di berbagai penjuru dunia. Kapitalisme monopoli Internasional (Imperialisme) sebagai fase akhir dari system kapitalisme sekarang ini, terus menyebarkan pengaruh dan memperkuat dominasinya diberbagai belahan dunia melalui cara-cara kasar Provokasi, operasi intelejen dan Agresi Militer maupun cara-cara halus Utang dan Investasi dengan menjerat negara-negara berkembang khususnya di Asia dalam suatu wadah seperti APEC (Asia Pasific Economic Cooeporations) dan menariknya kedalam media yang lebih besar yakni WTO (Word Trade Organization).
Dalam tulisan ini, penulis lebih ingin menyoroti masalah ekspansi Capital dalam bentuk Investasi sampai pada Monopoli dalam bidang Telekomunikasi di Indonesia, selain karena tidak ingin terlalu melebar hal ini juga berkaitan dengan sebuah fenomena yang hadir sebagai sebuah kenyataan dimana terjadi kasus penyadapan orang-orang penting dinegeri ini seperti Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudoyono (“SBY”), Ani Yudhoyono, Wapres Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, mantan Menpora Andi Mallarangeng, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, mantan Menkeu Sri Mulyani, Widodo Adi Sucipto, dan Sofyan Djali dengan satu kesimpulan akhir bahwa kedudukan Korporasi Telekomunikasi memegang peranan penting dan bertanggung jawab terhadap bocornya rahasia negara.
Dari Investasi ke Monopoli Komunikasi.
Investasi atau penanaman modal dalam berbagai kepustakaan ekonomi atau hukum bisnis dapat berarti penanaman modal yang dilakukan secara langsung baik oleh investor lokal maupun asing dan penanaman modal yang dilakukan secara tidak langsung oleh pihak asing dalam bentuk portofolio melalui lembaga pasar modal (Capital Market) sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penanaman Modal.
Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (“UUPM”) Pasal 1 sendiri memberikan definisi terkait investasi yakni “penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan penanaman modal baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha diwilayah Negara Republik Indonesia”.
Adapun bentuk atau model investasi ada beberapa versi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Michael J. Trebilcock dan Robert Howse, Investasi langsung asing biasanya menggunakan satu dari tiga bentuk berikut : pemberian dana modal misalnya dalam joint venture atau pabrik baru; investasi baru untuk mendapatkan perusahaan dan peminjaman jaringan melalui perusahaan induk atau partnernya”
Lalu apa itu Monopoli ?
Monopoli adalah penggabungan dari beberapa kekuatan produksi (perusahaan) dalam mencari dan membagi-bagi serta mengendalikan wilayah pasar dunia untuk kepentingan akumulasi kapitalnya masing-masing. Monopoli terjadi bukanlah karena murni keinginan dari para pemilik modal, akan tetapi merupakan hal yang terpaksa dilakukan karena menghadapi persaingan yang semakin pesat. Karena  logika dalam cara produksi kapitalisme adalah saling menghancurkan antara perusahaan yang satu dengan yang lainnya.
Watak dasar dari Capitalism Monopoli yang “Eksploitatif, Akumulatif dan Ekspansif” telah menciptakan sebuah keadaan yang tidak biasa (krisis) dimana konsentrasi capital berada pada segelintir klas (Imperialis) dan disisi lain kesengsaraan dan penderitaan berada di pundak rakyat diseluruh dunia. Skema Penghisapan Imperialis telah dijalankan dengan baik oleh rezim dalam negeri melalui penindasan dan fasisme, secara sistemik melalui kebijakan (deregulasi) maupun melalui perangkat kekerasan negara yakni Tentara dan Polri;
Publik tentu masih ingat kejadian krisis moneter (“krismon”) yang berawal di Thailand pada Juli 1997 dan memengaruhi mata uang, bursa saham serta harga aset lainnya di beberapa negara Asia termasuk di Indonesia yang disebabkan oleh liberalisasi perbankkan, kegagalan management ekonomi makro, kelemahan sektor financial dan membesarnya cronycapitalism dan sistem politik yang otoriter dan sentralistik.
Krisis Moneter inilah yang merupakan pelempang awal menuju krisis politik yang mengetuk pintu reformasi di negeri ini, akan tetapi pergantian rezim tidak mengubah wajah perekonomian di Indonesia menjadi lebih baik, cara pandang, analisa dan strategi yang sama dari Rezim Soeharto, Habibie, maupun Rezim  baru Gus Dur-Mega serta IMF sebagai wakil modal Internasional dalam mengatasi Krisis Moneter saat itu telah mengantarkan pada kesepakatan skema SAP (Structural Adjusment Program)  atau Program Penyesuaian Struktural yang didiktekan IMF melalui LoI (Letter of Intents) kepada pemerintah Indonesia. Skema SAP tersebut secara garis besar adalah cetak biru dari kebijakan Wasington consesus : Liberalisasi perdagangan, Privatisasi/swastanisasi BUMN, deregulasi, Penghapusan subsidi   (BBM, listrik, pendidikan, kesehatan, telepon, dan lain- lain) dan Restrukturisasi keuangan;
Dalam konteks SAP tentang Liberalisasi perdagangan dan Privatisasi/swastanisasi BUMN tersebut, Rezim Gusdur (Abdurrahman Wahid) berusaha  meyakinkan rakyat, bahwa untuk menutupi kekurangan (defisit) anggaran APBN, tidak ada jalan lain, kecuali menjual BUMN-BUMN untuk memperoleh devisa. Argumen yang diajukan untuk memperkuat adalah:  bahwa BUMN-BUMN tersebut  selama ini menjadi sarang korupsi, dan pengelolaan oleh swasta akan lebih menguntungkan negara. Maka  yang terjadi kemudian adalah puluhan BUMN dijual, atau sedang dalam proses penjualan.  Antara  lain: PT Pupuk Kaltim, PTP Nusantara IV, PTP Nusantara IV, PTP VI, PT Tambang batubara Bukit Asam, PT. Indofarma, PT. Kimia Farma, PT Angkasa Pura II, PT. Aneka Tambang TBK, PT. Semen Padang, PT. Semen Gresik (sudah terjual), PT. Pelindo II Tanjung Priok, PT. Pelindo III Surabaya, PT Jasa Marga, PT. Krakatau Steel, dan PT. Indosat dari keseluruhan BUMN yang dimiliki pemerintah, yang berjumlah sekitar 160 BUMN. Tidak terhitung lagi perusahaan yang semula bukan BUMN, tetapi karena tersangkut kredit macet dan BLBI, akhirnya disita dan dikelola oleh BPPN, dan kemudian dijual lagi kepada swasta seperti: PT. Astra, Bank BCA, dan lain- lain;
Pasca turunnya Gusdur secara dramatis, Era kepemimpinan Megawati-Hamzah juga tidak mau kalah, liberalisasi sektor publik melalui swastanisasi BUMN bidang telekomunikasi juga dilakukan, melalui Undang-Undang No. 5 tahun 1999 dan dengan persetujuan DPR RI, pemerintah melakukan penjualan sebagian saham PT Indosat Tbk sebesar 41,94 persen  kepada Singapore Technology Telemedia (“STT”) dan Saham PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) Tbk Sebesar 35 persen kepada Singapore Telekom (“SingTel”) yang keduanya merupakan anak perusahaan dari TEMASEK Holding Group Ltd Singapura.
Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk pada awalnya merupakan provider telekomunikasi BUMN terbesar di Indonesia. Kedua perusahaan tersebut memiliki cakupan pasar sekitar 80 persen dibandingkan dengan provider telekomunikasi yang lain sehingga secara tidak langsung Temasek Holding Group Ltd Singapura yang memegang lebih dari sepertiga saham dan memiliki kewenangan untuk mempengaruhi kebijaksanaan, strategi dan profit dari PT Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk atau bisa dikatakan bahwa Temasek Holding Group Ltd Singapura tersebut merupakan Multi National Corporation yang menguasai hajat hidup orang banyak di Indonesia terkait telekomunikasi.
Selain Indosat Tbk dan PT Telkomsel Tbk, Temasek pada Juli 2002 bersama Hutchinson Whampoa membeli Global Crosing senilai US$ 750 juta. Global Crosing adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di dunia yang menguasai jaringan serat optik sepanjang 10 ribu mil yang menjangkau 27 negara di dunia termasuk Amerika, Eropa dan Asia Pasifik, Dalam pengembangan jaringan globalnya, STT pada Oktober 2002 juga membeli Equinix dan Pihana Pasific. Keduanya adalah penyelenggara internet business exchange (IBM) sedang Pihana Pasific menyelenggarakan neutral internet exchange data center di Asia Pasific.
Investasi yang dilakukan oleh TEMASEK melalui anak perusahaan Indosat, Telkomsel, Global Crossing, Pihana Pasific dan Equinix, merupakan suatu bentuk monopoli di bidang telekomunikasi karena Temasek menguasai hampir separuh jaringan telekomunikasi yang ada didunia.
Swastanisasi yang dilakukan oleh rezim saat itu telah berdampak pada, selain kerugian material dan kesengsaraan rakyat, juga lebih kepada ancaman keamanan dan keselamatan negara. Hal ini tentu tidak terlepas dari kepentingan Imperialisme di Indonesia. Secara garis besar ada empat kepentingan Imperialisme di Indonesia yakni : Eksploitasi Sumber Daya Alam sebagai penyedia Bahan Baku Bagi Industri Imperialis, Eksploitasi Sumber Daya Manusia sebagai penyedia Tenaga Kerja Murah bagi Industri Imperialis, Area Pasar bagi Produk Imperialisme dan juga Sasaran Ekspansi Capital (Investasi dan utang);
Baru – baru ini kasus penyadapan terhadap SBY dan orang-orang disekitarnya,  diduga adanya keterkaitan peran salah satu vendor telekomukasi (singtel) yang bekerjasama dengan intelejent australia-AS untuk melakukan penyadapan;
Gejala ini seharusnya sudah dapat di deteksi oleh Pemerintah Indonesia, publik semua tahu bahwa krisis yang melanda tubuh Imperialis pimpinan Amerika Serikat yang berlangsung sejak 2000 dan puncaknya 2008- saat ini merupakan krisis yang paling buruk menerpa Imperialisme bahkan lebih parah dari Depresi Ekonomi Besar (Great Depression) yaitu krisis di era akhir 1920-an s/d 1930-an yang menjadi penyebab dari pecahnya Perang Dunia II.
Krisis yang bermula dari over produksi barang-barang tehknologi dan persenjataan tingkat tinggi dan sumprime mortgage (kredit macet perumahan) yang menyeret Imperialism Amerika Serikat kedalam krisis finansial, sehingga impe kemudian menciptakan satu opini terkait krisis energi dan pangan dunia sebagai legitimasi rencana busuknya untuk keluar dari krisis dengan melimpahkan beban krisis kepundak rakyat dunia dengan dalih kerja sama;
Penyadapan terhadap SBY sebagai mitra potensial (sasaran empuk) sejak tahun 2009 merupakan salah satu skema imperialis dalam mempertahankan ke-eksis’an sistem kapitalisme, mereka sadar bahwa sistem ini akan membawa masyarakat dunia pada suatu kesengsaraan akut, oleh karenanya dalam program politik selain mencari dan menciptakan negara jajahan baru atau setengah jajahan baru, mereka juga berupaya mempertahankan negara jajahan dan setengah jajahan yang telah berada dalam dominasinya. Dilapangan ekonomi impe akan memaksimalkan lembaga-lembaga dan forum-forum internasional guna mengkonsolidasikan negara-negara berkembang sebagai satu sasaran pelimbahan beban krisis, dilapangan kebudayaan impe fokus pada lembaga pendidikan, internet dan telekomunikasi guna mengkontrol aktivitas dan melakukan idiologisasi.

Berdasarkan analisa skema politik ekonomi dan budaya diatas maka penyadapan terhadap SBY merupakan suatu hal yang sudah dapat diprediksi sebelumnya, Imperialisme AS akan selalu memantau aktivitas negara sasaran Investasi guna tetap menjaga modal yang telah ditanam, apalagi hal ini menjelang pertemuan akbar petinggi Imperialis Dunia dan negara jajahannya (WTO) pada Desember 2013 di Bali . 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar