Kamis, 26 Maret 2015

Pencabutan Hak Politik Koruptor

Pencabutan hak politik terhadap para koruptor merupakan sebuah fenomena yang tengah hangat diperbincangkan oleh segenap lapisan masyarakat utamanya kalangan akademisi, praktisi, penegak hukum dan elit politisi.  Besarnya animo publik akan pencabutan hak politik koruptor tentu menjadi hal wajar mengingat saat ini dibawah dominasi kapitalis monopoli telah menjadikan mind set penyelenggara negara di Indonesia cenderung berorientasi pada penumpukan capital semata. Tahun 2014 setidaknya ada dua putusan Mahkamah Agung yang mencabutan Hak Politik bagi pelaku Tindak Pidana Korupsi yakni Putusan MA terhadap terpidana Djoko Susilo dalam kasus Korupsi Proyek Simulator Ujian SIM dan Tindak Pidana Pencucian Uang serta yang terbaru Putusan MA terhadap Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus Suap Impor daging Sapi dan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Fenomena ini sebenarnya tidak lebih dari sebuah kerinduan publik akan adanya objektifitas putusan hakim yang biasanya hanya menambah hukuman denda dan perampasan terhadap barang, kini telah menunjukan progresifitasnya dengan melakukan pencabutan hak politik dari koruptor. Walau demikian progresifitas putusan ini ternyata hanya sebuah penerapan hukum semata bukan merupakan penciptaan hukum baru, hal ini dikarenakan secara normatif yuridis, pencabutan hak politik merupakan hukuman (pidana) tambahan yang telah mempunyai landasan yuridis dalam Pasal 10 huruf b butir (1) KUHPidana dan secara limitative kriterianya diatur dalam Pasal 35 ayat (1) butir 1 (satu), butir 3 (tiga) KUHPidana serta Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Lebih dari itu, sebenarnya ada hal yang secara subtansial penting sekaligus mendesak untuk segera dipahami dari sekedar kultusisasi akibat patronase terhadap subjek hukum tertentu dalam pembahasan pencabutan hak politik terhadap koruptor. Hal itu ialah tentang pemahaman terhadap terma “Korupsi Politik” itu sendiri, karena dari putusan MA terhadap Djoko Susilo dan Luthfi Hasan Ishaaq, dasar atau bahan pertimbangan yang digunakan hakim dalam menjatuhan putusan adalah karena Djoko Susilo dan Luthfi Hasan Ishaaq terbukti melakukan korupsi politik.

Selama ini korupsi politik secara artificial hanya dimaknai sebagai korupsi yang dilakukan oleh Partai Politik melalui anggotanya yang duduk sebagai anggota legislatif maupun eksekutif yang bertujuan merampok uang rakyat untuk mendanai aktifitas partai politik. Dengan kata lain, korupsi politik hanya dimaknai sebatas pada motivasi perbuatan dilakukan dan orientasi hasil korupsi dialokasikan terhadap aktifitas partai politik. Pemaknaan sesempit ini jelas menutup ruang bagi dilakukannya pencabutan hak politik terhadap pelaku korupsi, terutama yang motivasi dan orientasinya bersifat pribadi atau keluarga dan yang lebih mengerikan lagi adalah terbukanya peluang bagi para koruptor yang hanya dijatuhi pidana dibawah empat tahun untuk memimpin kembali baik di eksekutif maupun legislatif. Persoalan ini tentu tidak boleh dibiarkan berkarat, kita harus secara mendelam menelaah hakekat dari korupsi dan mengkontruksi ulang apa yang disebut “Korupsi Politik” agar setiap koruptor tidak lagi mempunyai hak politik di negeri ini. 

Korupsi, jika kita telaah, sebenarnya mempunyai ciri khusus yang membedakannya dari tindak pidana pada umumnya. Ciri khusus tersebut diantaranya adalah : Pertama, korupsi pasti melibatkan subjek hukum yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan baik kekuasaan atau kewenangan politik maupun kekuasaan dan kewenangan yang diberikan secara politik. Kedua, objek dari korupsi adalah kerugian Negara, baik atas penggunaan sarana maupun kerugian keuangan Negara seperti APBN dan APBD dan segala pendapatan Negara yang sumbernya dari rakyat. Kekuasaan dan kewenangan hakekatnya merupakan suatu amanah yang secara politis diberikan rakyat sebagai bentuk perwujudan dari sila ke-4 Pancasila, oleh karenanya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan merupakan bentuk konkrit dari praktek korupsi politik.  Sedangkan pemanfaatan sarana dan penyelewengan dana APBN dan APBD yang seharusnya digunakan dalam kaitan pelaksaan apa yang diamanahkan rakyat secara politis kepada pemegang kekuasaan dan pemilik kewenangan untuk digunakan sebenar-benarnya demi kemakmuran rakyat juga merupakan manifestasi dari korupsi politik.


Telaah ini telah menghasilkan sebuah kontruksi baru tentang apa itu korupsi politik, kontruksi tersebut adalah menyangkut pemaknaan terma korupsi politik yang tidak hanya sebatas pada motivasi dan orientasi politik saja tetapi lebih luas dimaknai bahwa korupsi politik adalah setiap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum sebagai pemegang kekuasaann dan pemilik wewenang politik atau setiap subjek hukum yang kekuasaan dan kewenangannya diberikan secara politik tetapi disalah gunakan untuk menguntungkan dan memperkaya diri sendiri, orang lain. Hal ini akan semakin mempertegas cara pandang dan memperkuat pendirian tentang pentingnya pencabutan hak politik bagi setiap pelaku tindak pidana korupsi karena hakekat dari korupsi adalah korupsi politik, maka pelaku korupsi haruslah dicabut hak politiknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar