Pencabutan
hak politik terhadap para koruptor merupakan sebuah fenomena yang tengah hangat
diperbincangkan oleh segenap lapisan masyarakat utamanya kalangan akademisi,
praktisi, penegak hukum dan elit politisi.
Besarnya animo publik akan pencabutan hak politik koruptor tentu menjadi
hal wajar mengingat saat ini dibawah dominasi kapitalis monopoli telah
menjadikan mind set penyelenggara
negara di Indonesia cenderung berorientasi pada penumpukan capital semata. Tahun
2014 setidaknya ada dua putusan Mahkamah Agung yang mencabutan Hak Politik bagi
pelaku Tindak Pidana Korupsi yakni Putusan MA terhadap terpidana Djoko Susilo
dalam kasus Korupsi Proyek Simulator Ujian SIM dan Tindak Pidana Pencucian Uang
serta yang terbaru Putusan MA terhadap Luthfi Hasan Ishaaq dalam kasus Suap
Impor daging Sapi dan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Fenomena ini
sebenarnya tidak lebih dari sebuah kerinduan publik akan adanya objektifitas putusan
hakim yang biasanya hanya menambah hukuman denda dan perampasan terhadap barang,
kini telah menunjukan progresifitasnya dengan melakukan pencabutan hak politik
dari koruptor. Walau demikian progresifitas putusan ini ternyata hanya sebuah penerapan
hukum semata bukan merupakan penciptaan hukum baru, hal ini dikarenakan secara
normatif yuridis, pencabutan hak politik merupakan hukuman (pidana) tambahan yang telah mempunyai
landasan yuridis dalam Pasal 10 huruf b butir (1) KUHPidana dan secara
limitative kriterianya diatur dalam Pasal 35 ayat (1) butir 1 (satu), butir 3
(tiga) KUHPidana serta Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Lebih dari
itu, sebenarnya ada hal yang secara subtansial penting sekaligus mendesak untuk
segera dipahami dari sekedar kultusisasi akibat patronase terhadap subjek hukum
tertentu dalam pembahasan pencabutan hak politik terhadap koruptor. Hal itu
ialah tentang pemahaman terhadap terma “Korupsi Politik” itu sendiri, karena
dari putusan MA terhadap Djoko Susilo dan Luthfi Hasan Ishaaq, dasar atau bahan
pertimbangan yang digunakan hakim dalam menjatuhan putusan adalah karena Djoko
Susilo dan Luthfi Hasan Ishaaq terbukti melakukan korupsi politik.
Selama ini korupsi
politik secara artificial hanya dimaknai sebagai korupsi yang dilakukan oleh
Partai Politik melalui anggotanya yang duduk sebagai anggota legislatif maupun
eksekutif yang bertujuan merampok uang rakyat untuk mendanai aktifitas partai
politik. Dengan kata lain, korupsi politik hanya dimaknai sebatas pada motivasi
perbuatan dilakukan dan orientasi hasil korupsi dialokasikan terhadap aktifitas
partai politik. Pemaknaan sesempit ini jelas menutup ruang bagi dilakukannya pencabutan
hak politik terhadap pelaku korupsi, terutama yang motivasi dan orientasinya
bersifat pribadi atau keluarga dan yang lebih mengerikan lagi adalah terbukanya
peluang bagi para koruptor yang hanya dijatuhi pidana dibawah empat tahun untuk
memimpin kembali baik di eksekutif maupun legislatif. Persoalan ini tentu tidak
boleh dibiarkan berkarat, kita harus secara mendelam menelaah hakekat dari
korupsi dan mengkontruksi ulang apa yang disebut “Korupsi Politik” agar setiap
koruptor tidak lagi mempunyai hak politik di negeri ini.
Korupsi,
jika kita telaah, sebenarnya mempunyai ciri khusus yang membedakannya dari
tindak pidana pada umumnya. Ciri khusus tersebut diantaranya adalah : Pertama, korupsi pasti melibatkan subjek
hukum yang mempunyai kekuasaan dan kewenangan baik kekuasaan atau kewenangan politik
maupun kekuasaan dan kewenangan yang diberikan secara politik. Kedua, objek dari korupsi adalah kerugian
Negara, baik atas penggunaan sarana maupun kerugian keuangan Negara seperti
APBN dan APBD dan segala pendapatan Negara yang sumbernya dari rakyat. Kekuasaan
dan kewenangan hakekatnya merupakan suatu amanah yang secara politis diberikan
rakyat sebagai bentuk perwujudan dari sila ke-4 Pancasila, oleh karenanya
penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan merupakan bentuk konkrit dari praktek korupsi
politik. Sedangkan pemanfaatan sarana
dan penyelewengan dana APBN dan APBD yang seharusnya digunakan dalam kaitan
pelaksaan apa yang diamanahkan rakyat secara politis kepada pemegang kekuasaan
dan pemilik kewenangan untuk digunakan sebenar-benarnya demi kemakmuran rakyat
juga merupakan manifestasi dari korupsi politik.
Telaah ini
telah menghasilkan sebuah kontruksi baru tentang apa itu korupsi politik, kontruksi
tersebut adalah menyangkut pemaknaan terma korupsi politik yang tidak hanya
sebatas pada motivasi dan orientasi politik saja tetapi lebih luas dimaknai
bahwa korupsi politik adalah setiap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh
subjek hukum sebagai pemegang kekuasaann dan pemilik wewenang politik atau
setiap subjek hukum yang kekuasaan dan kewenangannya diberikan secara politik tetapi
disalah gunakan untuk menguntungkan dan memperkaya diri sendiri, orang lain.
Hal ini akan semakin mempertegas cara pandang dan memperkuat pendirian tentang
pentingnya pencabutan hak politik bagi setiap pelaku tindak pidana korupsi
karena hakekat dari korupsi adalah korupsi politik, maka pelaku korupsi
haruslah dicabut hak politiknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar